Minggu, 24 Juni 2012

persamaan dan perbedaan pap pan

F. Persamaan dan Perbedaan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Norma dan Penilaian Acuan Patokan mempunyai beberapa persamaan sebagai berikut:

1. Penilaian acuan norma dan acuan patokan memerlukan adanya tujuan evaluasi spesifik sebagai penentuan fokus item yang diperlukan. Tujuan tersebut termasuk tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus

2. Kedua pengukuran memerlukan sample yang relevan, digunakan sebagai subjek yang hendak dijadikan sasaran evaluasi. Sample yang diukur mempresentasikan populasi siwa yang hendak menjadi target akhir pengambilan keputusan.

3. Untuk mandapatkan informasi yang diinginkan tenyang siswa, kedua pengukuran sama-sama nenerlukan item-item yang disusun dalam satu tes dengan menggunakan aturan dasar penulisan instrument.

4. Keduanya mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur.

5. Keduanya menggunakan macam tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes penampilan atau keterampilan.

6. Keduanya dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.

7. Keduanya digunakan ke dalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.

Perbedaan kedua penilaian adalah sebagai berikut:
1. Penilaian acuan norma biasanya mengukur sejumlah besar perilaku khusus dengan sedikit butir tes untuk setiap perilaku. Penilaian acuan patokan biasanya mengukur perilaku khusus dalam jumlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap perilaku.

2. Penilaian acuan norma menekankan perbedaan di antara peserta tes dari segi tingkat pencapaian belajar secara relatif. Penilaian acuan patokan menekankan penjelasan tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap peserta tes.

3. Penilaian acuan norma lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan sedang dan biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan terlalu sulit. Penilaian acuan patokan mementingkan butir-butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan diukur tanpa perduli dengan tingkat kesulitannya.

4. Penilaian acuan norma digunakan terutama untuk survey. Penilaian acuan patokan digunakan terutama untuk penguasaan.

penilaian pap ,penggunaan pap dan pan

D. Penilaian Acuan Patokan (PAP)

PAP pada dasarnya berarti penilain yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap suatu patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebelum usaha penilaian dilakukan terlebih dahulu harus ditetapkan patokan yang akan dipakai untuk membandingkan angka-angka hasil pengukuran agar hasil itu mempunyai arti tertentu. Dengan demikian patokan ini tidak dicari-cari di tempat lain dan pula tidak dicari di dalam sekelompok hasil pengukuran sebagaimana dilakukan pada PAN. Patokan yang telah disepakati terlebih dahulu itu biasanya disebut “Tingkat Penguasaan Minimum”. Mahasiswa yang dapat mencapai atau bahkan melampai batas ini dinilai “lulus” dan belum mencapainya nilai “tidak lulus” mereka yang lulus ini diperkenankan menempuh pelajar yang lebih tinggi, sedangkan yang belum lulus diminta memantapkan lagi kegiatan belajarnya sehingga mencapai “batas lulus” itu. Patokan yang dipakai untuk kelompok mahasiswa yang mana sama ini pengertian yang sama. Dengan patokan yang sama ini pengertian yang sama untuk hasil pengukuran yang diperoleh dari waktu ke waktu oleh kelompok yang sama ataupun berbeda-beda dapat dipertahankan. Yang menjadi hambatan dalam penggunaan PAP adalah sukarnya menetapkan patokan yang benar-benar tuntas. 

Penilaian acuan patokan (PAP) biasanya disebut juga criterion evaluation merupakan pengukuran yang menggunakan acuan yang berbeda. Dalam pengukuran ini siswa dikomperasikan dengan kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam tujuan instruksional, bukan dengan penampilan siswa yang lain. Keberhasilan dalam prosedur acuan patokan tegantung pada penguasaaan materi atas kriteria yang telah dijabarkan dalam item-item pertanyaan guna mendukung tujuan instruksional .

Dengan PAP setiap individu dapat diketahui apa yang telah dan belum dikuasainya. Bimbingan individual untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dapat dirancang, demikian pula untuk memantapkan apa yang telah dikuasainya dapat dikembangkan. Guru dan setiap peserta didik (siswa) mendapat manfaat dari adanya PAP.

Melalui PAP berkembang upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan melaksanakan tes awal (pre test) dan tes akhir (post test). Perbedaan hasil tes akhir dengan test awal merupakan petunjuk tentang kualitas proses pembelajaran. Pembelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi tertentu sebagaimana diharapkan dan termuat pada kurikulum saat ini, PAP merupakan cara pandang yang harus diterapkan.

PAP juga dapat digunakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kurang terkontrolnya penguasaan materi, terdapat siswa yang diuntungkan atau dirugikan, dan tidak dipenuhinya nilai-nilai kelompok berdistribusi normal. PAP ini menggunakan prinsip belajar tuntas (mastery learning).

E. Penggunaan PAN dan PAP 

Pendekatan PAN dapat dipakai untuk semua matakuliah, dari matakuliah yang paling teoritis (penuh dengan materi kognitif) sampai ke matakuliah yang praktis (penuh dengan materi ketrampilan). Angka-angka hasil pengukuran yang menyatakan penguasaan kompetensi-kompetensi kognitif, ketrampilan, dan bahkan sikap yang dimiliki atau dicapai oleh sekelompok mahasiswa sebagai hasil dari suatu pengajaran, dapat di kurvekan. Dalam pelaksanaannya dapat ditempuh prosedur yang sederhana. Setelah pengajaran diselenggarakan, kelompok mahasiswa yang menerima pengajaran tersebut menjawab soal-soal atau melaksanakan tugas-tugas tertentu yang dimaksudkan sebagai ujian. Hasil ujian ini diperiksa dan angka tersebut disusun dalam bentuk kurve. Kurve dan segala hasil perhitungan yang menyertai (terutama angka rata-rata dan simpangan bakul) dapat segera dipakai dalam PAN. Pendekatan PAP tidak berorientasi pada “apa adanya” pendektan ini tidak semata-mata mempergunakan angka rata-rata yang dihasilkan oleh kelompok yang diuji, melainkan telah terlebih dahulu menetapkan kriteria keberhasilan, yaitu “batas lulus” penguasaan bahan pelajaran, dan dalam proses pengajaran. Tenaga pengajar tidak begitu saja membiarkan mahasiswa menjalani sendiri proses belajarnya, melainkan terus menerus secara langsung ataupun tidak langsung merangsang dan memeriksa kemajuan belajar mahasiswa serta membantunya melewati tahap-tahap secara berhasil. Proses pengajaran yang menjadi kegiatan PAP dikenal adanya ujian pembinaan (formative test) dan ujian akhir (summative test). Ujian pembinaan dilaksanakan pada tahap tersebut. Usaha ini akan mencegah mahasiswa dari keadaan terlanjur tidak menguasai dengan baik bahan kompetensi dari tahap yang satu ke tahap berikutnya seperti dituntut oleh TKP. Hasil ujian pembinaan ini dipakai sebagai petunjuk (indikator) apakah mahasiswa tertentu memerlukan bantuan dalam menjalankan proses belajarnya atau tidak. Ujian akhir dilaksanakan pada akhir proses pengajaran. Ujian ini meliputi semua bahan yang diajarkan dalam keseluruhan proses pengajaran dengan tujuan menguji apakah mahasiswa telah menguasai seluruh bahan yang diajarkan itu dengan baik. Ujian akhir ini didasarkan sepenuhnya pada TKP. Jika ujian pembinaan benar-benar diselenggarakan dan hasil-hasilnya dipakai untuk membantu mahasiswa yang memerlukan, maka PAP menekankan bukan hanya pada segi mutu hasil belajar mahasiswa tetapi juga pada segi mutu hasil belajar mahasiswa tetapi juga pada segi banyaknya mahasiswa yang berhasil. Sebanyak mungkin mahasiswa dirangsang dan dibantu untuk mencapai penguasaan kompetensi yang tinggi. 

penilaian pan

C. Penilaian Acuan Norma (PAN)

PAN ialah penilaian yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap hasil dalam kelompoknya. Pendekatan penilaian ini dapat dikatakan sebagai pendekatan “apa adanya” dalam arti, bahwa patokan pembanding semat–mata diambil dari kenyataan–kenyataan yang diperoleh pada saat pengukuran/penilaian itu berlangsung, yaitu hasil belajar mahasiswa yang diukur itu beserta pengolahannya, penilaian ataupun patokan yang terletak diluar hasil–hasil pengukuran kelompok manusia.

PAN pada dasarnya mempergunakan kurve normal dan hasil–hasil perhitungannya sebagai dasar penilaiannya. Kurve ini dibentuk dengan mengikut sertakan semua angka hasil pengukuran yang diperoleh. Dua kenyataan yang ada didalam “kurve Normal”yang dipakai untuk membandingkan atau menafsirkan angka yang diperoleh masing – masing mahasiswa ialah angka rata- rata (mean) dan angka simpanan baku (standard deviation), patokan ini bersifat relatif dapat bergeser ke atas atau kebawah sesuai dengan besarnya dua kenyataan yang diperoleh didalam kurve itu. Dengan kata ain, patokan itu dapat berubah–ubah dari “kurve normal” yang satu ke “kurve normal” yang lain. Jika hasil ujian mahasiswa dalam satu kelompok pada umumnya lebih baik dan menghasilkan angka rata-rata yang lebih tinggi, maka patokan menjadi bergeser ke atas (dinaikkan). Sebaliknya jika hasil ujian kelompok itu pada umumnya merosot, patokannya bergeser kebawah (diturunkan). Dengan demikian, angka yang sama pada dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti umum yang berbeda pula.

Ada beberapa pendapat tentang pengertian Penilaian Acuan Norma, yaitu:
1. Acuan norma merupakan elemen pilihan yang memeberikan daftar dokumen normatif yang diacu dalam standar sehingga acuan tersebut tidak terpisahkan dalam penerapan standar. Data dokumen normatif yang diacu dalam standar yang sangat diperlukan dalam penerapan standar.

2. Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan mengacu pada norma atau kelompok. Cara ini dikenal sebagai penilaian acuan norma (PAN).

3. PAN adalah Nilai sekelompok peserta didik (siswa) dalam suatu proses pembelajaran didasarkan pada tingkat penguasaan di kelompok itu. Artinya pemberian nilai mengacu pada perolehan nilai di kelompok itu.

4. Penilaian Acuan Norma (PAN) yaitu dengan cara membandingkan nilai seorang siswa dengan nilai kelompoknya. Jadi dalam hal ini prestasi seluruh siswa dalam kelas / kelompok dipakai sebagai dasar penilaian.

Dari beberapa pengertian ini dapat disimpulkan bahwa Penilaian Acuan Norma adalah penilaian yang dilakukan dengan mengacu pada norma kelompok; nilai-nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai siswa yang lain yang termasuk di dalam kelompok itu.

Penilaian acuan norma (PAN) merupakan pendekatan klasik, karena tampilan pencapaian hasil belajar siswa pada suatu tes dibandingkan dengan penampilan siswa lain yang mengikuti tes yang sama. Pengukuran ini digunakan sebagai metode pengukuran yang menggunakan prinsip belajar kompetitif. Menurut prinsip pengukuran norma, tes baku pencapaian diadministrasi dan penampilan baku normative dikalkulasi untuk kelompok-kelompok pengambil tes yang bervariasi. Skor yang dihasilkan siswa dalam tes yang sama dibandingkan dengan hasil populasi atau hasil keseluruhan yang telah dibakukan. Guru kelas kemudian mengikuti asas yang sama, mengukur pencapaian hasil belajar siswa, dengan tepat membandingkan terhadap siswa lain dalam tes yang sama. Seperti evaluasi empiris, guru melakukan pengukuran, mengadministrasi tes, menghitung skor, merangking skor, dari tes yang tertinggi sampai yang terendah, menentukan skor rerata menentukan simpang baku dan variannya .

Berikut ini beberapa ciri dari Penilaian Acuan Normatif :
1. Penilaian Acuan Normatif digunakan untuk menentukan status setiap peserta didik terhadap kemampuan peserta didik lainnya. Artinya, Penilaian Acuan Normatif digunakan apabila kita ingin mengetahui kemampuan peserta didik di dalam komunitasnya seperti di kelas, sekolah, dan lain sebagainya.

2. Penilaian Acuan Normatif menggunakan kriteria yang bersifat “relatif”. Artinya, selalu berubah-ubah disesuaikan dengan kondisi dan atau kebutuhan pada waktu tersebut.

3. Nilai hasil dari Penilaian Acuan Normatif tidak mencerminkan tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran yang diteskan, tetapi hanya menunjuk kedudukan peserta didik (peringkatnya) dalam komunitasnya (kelompoknya).

4. Penilaian Acuan Normatif memiliki kecendrungan untuk menggunakan rentangan tingkat penguasaan seseorang terhadap kelompoknya, mulai dari yang sangat istimewa sampai dengan yang mengalami kesulitan yang serius.

5. Penilaian Acuan Normatif memberikan skor yang menggambarkan penguasaan kelompok.

grading

A. Makna Grade Hasil Belajar

Pengertian tentang Grade dinyatakan oleh Johnson and Johnson, sebagai simbol yang mungkin berupa huruf, angka atau kata-kata yang menggambarkan pertimbangan nilai relatif pencapaian hasil belajar selama waktu tertentu (bisa 1 tahun, 1 semester, atau 1 kwartal, tergantung sistem yang berlaku di suatu lembaga sekolah).

Grade diberikan sebagai simbol yang mempresentasikan hasil belajar seorang siswa. Grade juga merupakan simbol yang merefleksikan komunikasi evaluasi sumatif yang diberikan guru sebagai media laporan kepada orang tua siswa, kepala sekolah dan para stakeholders yang berkepentingan.Grade mempunyai arti yang bervariasi sesuai dengan fungsi dan perannya terhadap para pelaku yang berkepentingan.

1. Bagi Siswa : Nilai menunjukkan pencapaian hasil belajar siswa. Oleh karena itu siswa perlu mengetahu sistem Grade dengan baik, agar mereka tetap termotivasi untuk belajar secara kontinu.

2. Bagi Guru : Grade mempunyai makna yang bervariasi, dengan melihat skor pencapaian hasil belajar, guru akan dapat menebak dan mengatakan “kamu tidak belajar ya dalam ulangan yang lalu”, sebaliknya guru akan tersenyum dan memuji siswa untuk terus belajar karena skor hasil belajar yang menunjukkan keberhasilan dalam ulangan.

Grade yang didasarkan atas tingkah laku dan penampilan yang terarah dalam test yang terorganisasi dengan baik, memiliki derajat yang lebih tinggi di banding dengan Grade yang hanya didasarkan atas tes kertas dan pena saja. Pada lingkup yang lebih luas, termasuk lingkup sekolah. Biasanya orang tua siswa akan merasa bangga atas prestasi yang dicapai oleh anaknya dan akan terus mendorong untuk menekuni sehingga menjadi yang lebih baik lagi.


B. Macam - Macam Sistem Grade
Secara garis besar, sistem Grade dalam evaluasi pendidikan dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
1. Grade Tunggal
Adalah Grade dengan sistem yang sederhana dan paling banyak digunakan.

Kelebihan Grade Tunggal :
  1. Memberikan pesan yang ringkas tentang pencapaian hasil belajar
  2. Lebih mudah dipahami
  3. Memberikan hasil prediksi keberhasilan siswa dalam belajar
  4. Memberikan motivasi untuk belajar lebih baik

Kelemahan Grade Tunggal :
  1. Tidak memberikan gambaran hasil yang jelas
  2. Acuan penilaian yang masih terbatas
  3. Bisa menimbulkan keraguan pada siswa yang bersangkutan
  4. Bisa membuat tidak suka, karena adanya perbedaan antara usaha dengan hasil yang dicapai

Pada sistem Grade tunggal ini, para siswa menerima hasil belajar mungkin dalam bentuk angka, seperti 10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1 untuk rentang 1 sampai 10 atau rentang 10 – 100. Grade tunggal dapat digunakan acuan huruf yaitu A, B, C, D dan E Bila di buatkan tabelnya maka:

2. Grade Ganda (Multy Grade)
Adalah sistem penentuan hasil belajar yang banyak digunakan dalam konteks evaluasi pendidikan. Secara devinitif, multyGrade diartikan sebagai penentuan skor yang terdiri atas ketentuan nilai hasil belajar yang memiliki makna untuk sistem instruksional yang berbeda.

Misal : nilai hasil belajar untuk penilaian criteria produk, berbeda dengan nilai hasil belajar pada aspek proses. Kedua nilai tersebut juga berbeda maknanya dengan hasil belajar pada criteria progress.
Berikut adalah contoh format penilaian :
Penilaian Sikap
Jumlah Nilai yang diperoleh :
Catatan :
Setiap Aspek Penilaian diberikan nilai skor 10 – 100
Skor diberikan kepada peserta didik tergantung dari sikap yang diberikan. Semakin baik sikap dan perilakunya semakin tinggi perolehan skor
Hasil akhir Penilaian didapat dengan menggunakan rumus :
3. Grade Kategori
Sistem lain yang sering digunakan di sekolah menengah adalah sistem dua kategori, yaitu lulus dan tidak lulus, atau memuaskan dan tidak memuaskan atau juga lulus dan gagal.

Pada umumnya, Grade kategori digunakan untuk memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengeksplorasi cakupan pengetahuan baru, dengan tetap dibimbing oleh guru pengampu. Cara ini akan lebih baik daripada belajar menggunakan model otodidak.

Bagi para guru yang menyelenggarakan evaluasi pembelajaran, biasanya akan melakukan beberapa tahapan sebagai berikut :
  1. Persiapan
  2. Penyusunan instrument
  3. Pelaksanaan Evaluasi
  4. Pengolahan hasil evaluasi
  5. Pemberitahuan hasil akhir

Pendekatan penilaian yang membandingkan hasil pengukuran seseorang dengan hasil pengukuran yang diperoleh orang – orang lain dalam kelompoknya, dinamakan Penilaian Acuan Norma (Norm – Refeereced Evaluation). Dan pendekatan penilaian yang menbanding hasil pengukuran seseorang dengan patokan “batas lulus” yang telah ditetapkan, dinamakan penilaian Acuan Patokan (Crit`erian – refenced Evaluation).

Rabu, 13 Juni 2012

fitogeografi




Fitogeografi
Secara luas. yang dimaksud fitogeografi adalah suatu kajian tentang sebaran makhluk hidup di bumi pada saat yang lalu dan pada saat ini. Shukla dan Chandel (1996) mendefinisikan "fitogeografi sebagai suatu kajian tentang migrasi dan penyebaran tumbuh- tumbuhan di daratan atau perairan. Penelaahan tentang penyebaran tumbuhan di bumi pertama kali dikemukakan oleh Alexannder von Humboldt pada tahun 1808 (Misra, 1980).
Secara deskriptif, fitogeografi adalah “studi dan deskripsi tentang perbedaan fenomena distribusi tumbuhan di bumi, mencakup semua hal yang mengubah atau mempengaruhi permukaan bumi, baik oleh pengaruh fisik, iklim atau interaksi dari makhluk hidup ke lingkungannya" (Potunin, 1994).
Secara umum pembahasan fitogeografi adalah tumbuhan di seluruh permukaan bumi yang mencakup komposisi, produktivitas setempat dan terutama distribusinya, Distribusi vegetasi dapat ditelaah secara terpisah-pisah berdasarkan jenis-jenisnya atau secara bersama sebagai suatu kesatuan masyarakat tumbuhan, dengan maksud memperoleh pemahaman tentang perbedaan vegetasi di berbagai wilayah di bumi.

A. dasar-dasar fitogeografi
Fitogeografi sebagai bagian dari Geografi selain Zoogeografi, Biogeografi Sejarah atau Biogeografi Ekologi berusaha menjelaskan dan memahami berbagai pola distribusi suatu jenis organisme atau kelompok taksa organisme yang lebih luas. Fitogeografi merupakan pengetahuan sintesis yang sebagian besar ditunjang oleh ilmu pengetahuan lain, seperti ekologi, biologi populasi, sistematik, evolusi, geologi dan sejarah alam.
Pada umumnya penelaahan tentang fitogeografi mempunyai hubungan yang erat dengan analisis dan penjelasan tentang pola distribusi tumbuhan dan makhluk hidup lainnya di bumi, yang variasi jenis-jenisnya sebagian besar dipengaruhi lingkunpan fisik tempat tumbuhnya yang berlangsung pada saat ini dan masa yang lalu. Faktor fisik, antara lain adalah iklim dan tipe tanah di suatu habitat terestris, dan variasi suhu, salinitas, cahaya dan tekanan air di suatu habitat perairan.

Penelaahan dalam fitogeografi pada umumnya dititikberatkan pada kelompok organisme sebagai "unit kehidupan" dalam kelompok taksa tertentu seperti kelompok tumbuhan dalam suku atau famili.
Pola distribusi tumbuhan dapat mempunyai sebaran yang luas atau hanya pada tertentu. Sifat distribusinya dapat berhubungan atau sarnbung-menyamhung dengan wilayah lainnya ("continue"), atau dapat pula terpisah dengan wilayah lain yang berjauhan ("discontinue" atau " disjunct"). Berdasarkan pada ada tidaknya tumbuh-tumbuhan di berbagai wilayah bumi maka terdapat distribusi 3 kelompok taksa tumbuhan, yaitu:
1. tumbuhan tersebar luas
2. tumbuhan endemik
3. tumbuhan discontinue


1. Tumbuhan yang Tersebar Luas
Tumbuhan yang tersebar luas ("wides") adalah kelompok taksa tumbuhan yang penyebarannya hampir terdapat di seluruh dunia di wilayah yang memiliki bermacam-macam zona iklim. Tumbuhan demikian yang sebarannya luas dinamakan "tumbuhan kosmopolit". Conloh adalah Taraxacum officinale, Chenopodium album atau Plantago mayor dan jenis tumbuhan dari suku Gramineae (Cox dan Moore, 1993; Shukla dan Chandel, 1996).
Tumbuhan kosmopolit yang tersebar luas di daerah tropis dinamakan tumbuhan "pantropis" contohnya adalah kelompok tumbuhan yang termasuk suku Zingiberaceae yang terdapat di beberapa kepulauan dan daratan Asia.
Sedangkan tumbuhan yang tersebar secara luas di daerah beriklim dingin di wilayah zona artik dan zona alpin, dikenal sebagai tumbuhan "artik-alpin", contohnya adalah tumbuhan lumut atau rerumputan seperti Carex sp, dan Eriophomm spp atau pepohonan berlumut yang dinamakan "elfin wood" dan "krummholz" (Polunin, 1994).

2. Tumbuhan Endemik
Tumbuhan endemik adalah tumbuhan yang jenis-jenisnya tumbuh di wilayah terbatas dan terdapat pada daerah yang tidak terlalu luas. Daerah sebarannya pada umumnya dibatasi oleh adanya penghalang ("barrier"), seperti lembah, bukit atau pulau. Dikenal beberapa tipe tumbuhan endemik yaitu tumbuhan "endemik benua", "endemik regional" atau "endemik setempat/ lokal".
Tumbuhan endemik dapat berasal dari jenis tumbuhan purba yang tersebar luas yang sampai saat ini mampu bertahan dan beradaptasi pada wilayah yang terbatas. Tumbuhan jenis ini kemudian menjadi tumbuhan endemik karena sebarannya yang sempit. Contohnya adalah Ginko biloba (di Jepang dan China), Sequioa sempervirens (di suatu lembah di pantai Califonia) atau Agathis australis dan Metasequioa sp, yang diperkirakan merupakan spesies tunggal yang tumbuh di suatu lembah di China. Tumbuhan endemik purba tersebut dinamakan tumbuhan "paleoendemik" atau "epibion".

Jenis tumbuhan endemik lainnya adalah tumbuhan masa kini (modern) yang dalam proses evolusinya tidak mempunyai kesempatan dan waktu yang cukup untuk tersebar secara luas melalui migrasi (Shukla dan Chandel, 1996). Contohnya antara lain atau Eleusine coracana (Gramineae), Mecanopsis sp. (Papaveraceae), Piper longum (Piperaceae) atau Rafflesia arnoldii, Tumbuhan demikian dinamakan tumbuhan "neoendemik".


3. Tumbuhan Discontinue
Tumbuhan discontinue adalah tumbuhan yang terpisah pada dua atau lebih wilayah yang berjarak puluhan, ratusan atau ribuan kilometer oleh adanya penghalang yang terdiri dari pegunungan atau gunung yang tinggi di daratan atau pulau-pulau di laut. Contoh tumbuhan discontinue, antara lain Empetrum nigrum, Larrea tridentata, Phacelia magellanica atau Sanigula cranicaulis
Tumbuhan discontinue terdapat, antara lain karena:
a. tumbuhannya berevolusi di beberapa wilayah yang sesuai dengan amplitude ekologinya, tetapi gagal bermigrasi dari habitat aslinya oleh adanya penghalang tertentu;

b. tumbuhan yang jenis-jenisnya pada suatu saat pada masa lalu yang tersebar luas, kemudian oleh karena kondisi lingkungannya berubah akan lenyap atau rnusnah. Tetapi di antara jenis tumbuhan tersebut terdaptl jenis yang dapat beradaptasi dan mampu bertahan; sehingga akhirnya pada wilayah atau habitat tertentu akan terbentuk kantung-kantung discontinue;

c. iklim yang berubah dalam skala evolusi juga dapat menyebabkan adanya discontinue karena pada umumnya tumbuhan mempunyai kebutuhan iklim tertentu akan menemukan kehidupannya. Misalnya walaupun secara terpisah, tumbuhan yang terdapat di wilayah artik mempunyai kesamaan jenis dan bentuk hidup dengan tumbuhan wilayah alpin dengan kondisi iklim yang serupa. Contohnya, Salix spp. dan Silen spp. adalah tumbuhan discontinue yang tumbuh di wilayah artik, wilayah alpin atau wilayah artik alpin

d. secara geologis daratan di masa lampau sekarang sangat berbeda dengan daratan masa kini. Menurut teori "paparan benua" ("continental drifts") wilayah yang terdapat sekarang seperti di Amerika Selatan, Afrika, India, Polinesia, Australia dan Antartika, pada "era meozoicum” menjadi satu benua yang luas yang dinamakan Gondwana dan memiliki karakteristik flora dan fauna yang spesifik dengan flora dan faunanya yang discontinue. Oleh adanya gerakan lempengan bumi maka daratan Gondwana kemudian pecah dan terpisah menjadi wilayah tersebut (Brown dan Gibson, 1983).


B. SEBARAN VEGETASI
1. Pola Sebaran Vegetasi
Dalam konsep dinamika fitogeografi, terdapat pola dasar distribusi vegetasi diwilayah. Menurut Weis, (1963) dan Misra, (1980) pola dasar distribusi vegetasi dipengaruhi oleh:

a. "habitat", sebagai tempat tumbuh tumbuhan yang mempunyai hubungan sangat erat dengan iklim. Dalam proses evolusi perubahan iklim dapat menyebabkan wilayah yang menjadi habitat dan lingkungannya yang tempat tumbuh berbagai jenis tumbuhan akan dapat berubah dan dapat mempengaruhi distribusi vegetasinya.

b. "respon" vegetasi dan sifat adaptasi tumbuhan terhadap lingkungannya bersifat khas dan sering menjadi karakteristik suatu jenis tumbuhan. Penyebaran tumbuhan pada umumnya dibatasi oleh sifat toleransi dan adaptasi terhadap kondisi lingkungannya.

c. "migrasi" berbagai flora setempat telah berlangsung sepanjang sejarah geologi, selama itu persebaran, pengangkutan dan penguasaan wilayah akan turut menentukan pola distribusi vegetasi.

d. "kelanjutan hidup" jenis vegetasi tertentu tergantung oleh proses migrasi dan evolusi. Dalam proses evolusi dan proses suksesi, berbagai perubahan kondisi lingkungan turut dalam perubahan komunitas vegetasi. Di mana dalam proses evolusi struktur komunitas distribusi vegetasi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, proses mutasi dan seleksi alam.

Melalui penyesuaian diri selama proses evolusi terhadap kondisi iklim dan sifat edafik habitat, dalam proses evolusi tumbuhan di bumi akan terus berkembang sepanjang mencapai klimaks stabil dalam proses suksesi. Perubahan komunitas vegetasi berlangsung pada umumnya terjadi karena lingkungannya berubah.

Menurut Leon Croizat (dalam Misra, 1980), dalam skala ruang dan waktu yang berlangsung secara berulang kali dengan teratur, pola distribusi tumbuhan Angiospermae telah bermigrasi dari belahan bumi bagian selatan ke utara yang secara fitogeografis proses tersebut adalah sebagai bagian dari proses evolusi organis.

Dalam klasifikasi makhluk hidup, salah satu tingkat taksa yang sering digunakan dan dapat menjelaskan suatu karakteristik makhluk hidup secara umum adalah suku. Suku adalah suatu kategori klasifikasi organisme yang terdiri dari satu atau beberapa marga, yang terdiri atas populasi beberapa spesies makhluk hidup yang serupa atau mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat.

Secara global terdapat 2 kelas tumbuh-tumbuhan (Dicotyledoneae dan Monocotyledoneae) utama yang mempunyai jumlah jenis anggota yang terbesar, yaitu sekitar 250.000 spesies (Boled 1984). Pola distribusi sebagian besar tumbuhan dalam kelas tersebut pada umumnya dipengaruhi oleh habitat dan iklim.

Menurut Weis (1963), dalam konsep dinarnika fitogeografi pola distribusi vegetasi kelompok suku, diberi nama dan dikelompokkan sesuai dengan sifat toleransi dan adaptasi terhadap habitat dan iklim.

Kelompok tersebut adalah:
a. "Suku tumbuhan sub-kosmopolit dan sub-kosmopolit", contohnya adalah tumbuhan dari suku Compositae, Graminae, Ericaceae, Malvaceae alau Umbillifereae

b. "Suku tumbuhan wilayab tropis", contohnya adalah tumbuhan dari suku Araceae, Cucurbitaceae atau Melastomataceae
c. "Suku tumbuhan wilayah sub-tropis, (beriklim sedang)", contohnya adalah tumbuhan dari suku Aceraceae, Salicaceae atau Vacciniaceae .

d. "Suku tumbuhan "discontinue", contohnya adalah tumbuhan dari suku Bromeliace, Fagaceae, Magnoliaceae, atau Papaveraceae

e. "Suku tumbuhan "endemik" contohnya adalah tumbuhan dari suku Bixaceae, Cactaceae, atau Casuarinaceae.

f. "Suku tumbuhan "wilayah ekstrim" (misalnya habitat gurun), contohnya adalah tumbuhan dari suku Pedaliaceae.

Pola distribusi vegetasi seperti di atas, disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat alami dari kondisi lingkungan biotik dan abiotiknya yang saling berinteraksi, mengatur pola distribusi dan mempengaruhi komunitas vegetasinya dalam proses penyebaran vegetasi di bumi. Yang menjadi latar belakang pola-pola distribusi vegetasi di bumi, pada dasarnya ditentukan oleh karakteristik sebaran vegetasi, kemampuan bertoleransi dan beradaptasi vegetasi dalam proses evolusi.

Proses toleransi dan adaptasi dalam evolusi pulalah yang menentukan sebab dan akibat dari pola distribusi vegetasi di mana tumbuhan sebagai makhluk hidup secara relatif tumbuh di suatu tempat atau habitat tanpa mampu berpindah tempat.

Dalam hubungannya dengan hal tersebut, ternyata kemampuan toleransi dan adaptasi terhadap lingkungan setempat dari berbagai jenis, marga atau suku tumbuhan yang ada, perlu ditunjang oleh kemampuan menyebarkan biji atau mempunyai struktur alat reproduksi yang sesuai dengan persyaratan habitat dan iklim.

Dalam pola distribusi vegetasi di alam, salah satu hal penting yang dapat membatasi pola dan daya penyebaran komunitas tumbuhan adalah terdapatnya barrier, seperti gurun, pegunungan,gunung-gunung yang tinggi, lernbah atau laut. Barier akan membatasi suatu wilayah dengan wilayah lainnya disertai dengan lingkungan fisik, habitat atau iklim yang berbeda.

Tetapi sering terdapat sejurnlah jenis tumbuhan secara alamiah atau genetis mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada berbagai jenis habitat dengan kondisi iklim dan lingkungan yang berbeda sama sekali. Jenis tersebut pada umumnya secara genetis memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara potensial sehingga tumbuhan tersebut mempunyai pola distribusi yang bersifat kosmopolit melalui seleksi alam atau mutasi.

Dalam proses evolusi, skala waktu juga sering turut menunjang proses seleksi alam dan mutasi dalam antisipasi tumbuhan untuk beradaptasi terhadap lingkungannya. Dengan kemampuan adaptasi tersebut, pola distribusi vegetasi dari "spesies baru” biasanya mempunyai daya pemencaran spasial yang Iebih luas (Weis, 1963 ).

Pada ekosistem darat alau ekosistem perairan, secara global atau setempat, pola distribusi atau sebaran suatu organisrne secara fisiologis sangat dipengaruhi dan dibatasi oleh berbagai faktor ekologi, seperti faktor fisik atau faktor abiotik dari lingkungannya, seperti suhu, kelembaban, cahaya, pH, kualitas tanah, salinitas, atau kecepatan arus.

Secara ekologis faktor lingkungan yang paling kecil atau minimum (“hokum minimum Liebig") sering rnenjadi faktor pembatas yang akan berpengaruh terhadap keberadaan, kehidupan dan sebaran suatu organisme di alam. Selain itu sebaran jenisnya juga dikontrol oleh factor lingkungan yang paling minimum yang masih dapat ditolerir dan diadaptasi oleh jenis tersebut.

Secara geografis, distribusi atau sebaran spasial dan temporal tumbuh – tumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologis yang terdiri dari faktor lingkungan biotik dan abiotik. Faktor – factor berpengaruh tersebut biasanya tidak hanya terdiri dari satu faktor tetapi dapat lebih dari satu faktor, yang akan saling berinteraksi satu sama lain (Brewer, 1994; Stiling. 1996).

Beberapa jenis tumbuhan mungkin mempunyai sifat toleransi yang luas terhadap satu atau beberapa faktor ekologi, seperti kondisi lingkungan habitat. Tumbuhan yang demikian dinamakan tumbuhan ektopik (eurytopic), tetapi mungkin juga terdapat hanya satu jenis tumbuhan yang mempunyai toleransi yang sempit terhadap kondisi lingkungan tersebut, dinamakan jenis tumbuhan stenotopik (stenotopic). Sifat-sifat ektopik dan stenotopik sering dapat menjadikan suatu jenis tumbuhan dalam suatu komunitas vegetasi dapat bersifat cosmopolit atau endemik.

Sifat-sifat toleransi demikian dinamakan sebagai sifat toleransi dengan " rentang yang optimum", misalnya secara geografis karakteristik faktor tanah dengan rentang optimum tertentu, menjadi satu faktor ekologi paling penting yang mempengaruhi sebaran spasial berbagai jenis tumbuhan di bumi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor ekologi merupakan salah satu factor utama yang turut mengontrol atau menentukan mengapa satu atau beberapa spesies tumbuhan atau hewan sebarannya bersifat endemik atau kosmopolit (Jenny, 1980). Karena tumbuh-tumbuhan bersifat menetap, tumbuhan endemik atau tumbuhan kosmopolit harus memiliki toleransi sebagai factor pembatas, yang sempit atau luas terutama terhadap kondisi faktor-faktor fisik di lingkungan setempat atau di seluruh permukaan bumi.

Faktor pembatas yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi dan distribusi tumbuhan menurut Brown dan Gibson (1983), antara lain adalah:

a. jenis tumbuhan karena jenis tumbuhan setempat cenderung mempunyai reproduksi yang sesuai dengan kondisi setempat,

b. kepekaan dan sifat adaptasi tumbuhan terhadap spektrum cahaya,

c. preferensi tumbuhan terhadap sifat - sifat fisik tanah.

d. ada dan tidak adanya jenis tumbuhan tertentu yung berhubungan erat dengan kemampuannya menghadapi gangguan secara periodik "catastrophe", seperti pencemaran atau banjir,

e. interaksi-spesifik antara tumbuhan dengan tumbuhan atau antara tumbuhan dengan hewan.

2. Distribusi Vegetasi di Alam
Secara fitogeografis, Shukla dan Chandel (19%) rnenyatakan bahwa terdapat beberapa faktor ekologi yang berpengaruh terhadap distribusi tumbuhan. Faktor ekologi tersebut adalah:
a. Faktor Sejarah Geografi dan Sebarannya
Suatu wilayah di bumi yang menjadi tempat asal tumbuhan pertama kali ada dinamakan pusat asal tumbuhan ("centre of origin"). Dalam skala evolusi dan geologi proses terbentuknya spesies biota cenderung berlangsung lama dan kontinyu. Dalam proses evolusi tersebut beberapa jenis tumbuhan lelah berdiferensiasi membentuk spesies baru dan dapat menjadi flora sekarang.

Dalam proses diferensiasi tersebul jenis tumbuhan purba biasanya berasal dari pusat "tumbuhan awal" di wilayah yang dinamakan pusat anal jenis masa lalu atau "centre of origin", yang kemudian akan berevolusi rnenjadi jenis tumbuhan masa kini. Sementara itu tumbuhan spesies baru mengalami perubahan selama evolusi, kemudian menjadi flora biasa kini yang berkembang dari flora purba yang berasal dari spesies yang berasal dari proses evolusi dari pusat tumbuhan baru ("recent of'origin"). Dalam proses evolusi beberapa spesies purba akan punah dan dapat ditemukan sekarang sebagai "tumbuhan fosil", sedangkan tumbuhan jenis lain yang lampu beradaptasi dan bertahan hidup cenderung akan menjadi tumbuhan palcoendemik atau mungkin menjadi tumbuhan kosmopolit.

Dalam evolusi proses deferensiasi terbentuknya jenis-jenis spesies baru pada umurnnya berkaitan dengan proses hibridisasi dan proses mutasi antara jenis-jenis tumbuhan yang mempunyai kekerabatan yang dekat, serta proses seleksi alam dari populasi hibrid dan mutan.

Proses diferensiasi yaug berlangsung secara alamiah akan menghasilkan hibrid dan mutan dengan habitat dan amplitudo ekologi ("ecological amplitude") tertentu. Selain itu iklim juga memegang peranan penting dalam membentuk asal spesies baru ("origin of new species").

b. Faktor Migrasi
Jenis tumbuhan baru yang berhasiil dalam proses evolusi, kemudian mungkin akan bermigrasi pada habitat baru. Di habitatnya spesies baru tersebut akan tumbuh, berkembang dan beradaptasi pada kondisi lingkungan setempat tanpa mengalami perubahan karakteristik jenis / mengalami perubahan sebagai jenis baru dan melangsungkan persebaran dan pemencaran nya, yang berlangsung bersamaan dengan proses evolusmya sendiri.

Persebaran ("dispersal") atau pemencaran bibit dan biji dilakukan oleh berbagai agen , seperti angin, air, serangga, burung atau hewan lainnya termasuk manusia. Dalam migrasi, proses dispersal akan dilanjutkan dengan proses "ekesis", yaitu proses berkecambah, tumbuh dan beradaptasi, berkembang biak dan menetap di habitatnya yang baru. Proses migrasi dapat terhalang bahkan berhenti oleh sebab tcrtentu karena terdapatnya barier. Baricr dapat terdiri dari barier ekologi, barier lingkungan dan barier geografi. Misalnya iklim adalah ekologi yang berperan penting dalam proses sebaran tumbuhan dan pembentukan spesies baru.. .barier lingkungan dapat tcrdiri dari faklor biotik (misalnya burung) yang dapat berperan sebagai agen pemencaran, sedangkan barier gcografi biasanya terdiri dari topografi dan fisiografi habitai seperti gurun, atau laut yang dapat menjadi penghalang tumbuhan untuk berpencar.

c. Amplitudo Ekologi
Kondisi lingkungan tdak saja mempengaruhi kehidupan,pertumbuhan dan perkembangan vegetasi di suatu wilayah, tetapi kehidupan, migrasi dan sebaran vegetasi tersebut juga ditentukan oleh "amplitudo ekologi" wilayah tcrsebut berupa:
1. ada atau tidaknya kehadiran jenis tumbuhan
2. kekuatan dan kelemahan jenis tumbuhan untuk tumbuh dan berkembang
3. keberhasilan dan kcgagalan dari vegetasi dalam bermigrasi

Setiap jenis tumbuhan dalam suatu komunitas biotik pada dasarnya mempunyai rentang toleransi terhadap amplitude ekologi berupa kondisi faktor lingkungan fisik dan biotik tertentu. Sehingga adanya atau terdapatnya satu spesies di suatu habitat akan menunjukkan bahwa kondisi lingkugannya sesuai dengan amplitude ekologj spesies tersebut.

Secara spasial amplitude ekologi suatu spesies tumbuhan akan ditentukan dan dipengaruhi oleh perangkat genetik ("genetic set up'"} dari jenis tersebut. Perangkat genetik adlah suatu perangkat sifat-sifat menurun yang tcrsusun dari rangkaian DNA yang mempunyai karakteristik dan respon yang spesifik terhadap kondisi lingkungan ( amplitude ekologi tertentu).

spesies tumbuhan yang berbeda-beda akan mempunyai amplitude ekologi yang berbeda pula.. Tctapi satu jenis atau satu marga tumbuhan yang mempunyai sebaran ekologi yang sama atau serupa, mungkin terdapat pada wilayah geografi yang berbeda. Contohnya tumbuhan conifer yang terdapat di wilayah beriklim sejuk di sekitar lingkaran kutub, dapat pula tumbuh di wilayah "zona-alpin" di daerah pegunungan wilayah tropis dan sub-tropis.
Faktor amplitudo ekologi suatu jenis tumbuhan sering dipengaruhi perubahan waktu(temporal), yang dapat menentukan dan mempengaruhi distribusi vegetasiya . contohnya adalah tumbuhan yang reproduksinya berlangsung secara generatif (seksual), proses hibridisasi antara jenis tumbuhan yang sejenis akan menghasilkan keturunan yang secara genetik sama.tetapi karena terjadi pcrubahan kondisi lingkungannya, tumbuhan tersebut harus beradaptasi sesuai dcngan lingkungannya dan amplitude ekologinya yang baru dengan perangkat genetik baru pula sebagai hasil seleksi alam atau mutasi.

Perangkat genetik sebagai hasil adaptasi pada kondisi lingkungan yang baru akan menyertai perubahan gcnotip atau proses mutasi dari jenis tersebut. Jenis-jems atau populasi tumbuhan terscbut dinamakan ''tumbuhan ekotip". Contohnya adalah tumbuhan Euphorbia thymifolia ,yang tumbuh pada bermacam-macan habibat. Terdapat hasil mutasi atau variasi jenis tumbuhan tersebut yang mempunyai 2 ekotip, yaitu ekotip yang menyukai habitat berkapur, thymifolia var. calcicola dan ekotip yang tidak menyukai habitat tanah berkapur adalah E. thymifolia var. calcifuga (Vickery, 1984; Shukla dan Chandel, 1996).

tumbuhan mesofit


C.    TUMBUHAN MESOFIT
-       Pengertian
Tumbuhan mesofit adalah tumbuhan terrestris ( daratan ) yang tumbuh dalam kondisi tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering, sering dinamakan lingkungan mesik (Misra, 1980). Tumbuhan dalam kelompok ini tidak dapat tumbuh dalam habitat/ tanah yang jenuh air dan tanah yang kering. Contohnya vegetasi  hutan hujan, padang rumput, ladang atau kebun.  Komunitas mesofit terdiri rerumputan, semak, herba dan vegetasi hutan hujan tropis (Shukla dan Candel, 1996).
-       Pembagian kelompok tumbuhan mesofit berdasarkan komunitas vegetasi utama yang menyusunnya
1.         Komunitas rerumputan dan herba
Komunitas rerumputan dan herba merupakan komunitas yang vegetasinya tersusun vegetasi rumput dan herba semusim atau tahunan. Umumnya habitatnya mempunyai curah hujan tahunan sekitar 25-75 cm/tahunan. Komunitas vegetasi ini dibedakan atas beberapa tipe komunitas yaitu:
a.         Komunitas rumput dan herba di padang Arktik dan Alpine
Komunitas ini berada da daerah Arktik (kutub utara) dan di daerah puncak pegunungan Alpin. Tumbuhannya tersusun dari vegetasi semak yang lembut dan berukuran kecil. Vegetasi semak kadang bercampur dengan lumut bukan lumut kerak. Komunitas rumput dan herba terdiri 2 komunitas yaitu Komunitas rumput dan Komunitas herba yaitu tumbuhan herba dikotiledon seperti Delphinium sp, Potentill sp, Ranunculus sp, Saxifraga sp.




b.         Lapangan rumpu(Meadow)
Lapangan rumput (Meadow) sebagai penghubung antara jenis komunitas rumput yang tersusun dari tumbuhan mesofit dan hidrofit, yang tumbuhan di habitat yang tanahnya mengandung kadar air antara 60%- 80%. Vegetasi lapaangan rumput terdiri dari herba tahunan yang tumbuh subur dan rimbun, dan saling berdesakan (overcrowding). Tumbuhan umumnya berbatang tinggi, berakar rimpang (rhizoma). Daunnya berciri-ciri tumbuhan mesofitik yaitu berdaun tipis, lebar, tumbuh mendatar dan bentuk lainnya ‘globrous’. Tumbuhan- tumbuhan yang tumbuha dan hidup di daerah ini antara lain terdiri dari tumbuhan yang termasuk suku Compositae, Graminae, Papilionaceae, dan Ranunculaceae yang tumbuha melimpah.


c.         Ladang dan padang gembalaan (pasture dan cultivated)
Vegetasi ini umumnya mempunyai tumbuhan yang lebih  pendek daripada lapangan rumput dan habitatnya lebih terbuka. Vegetasi lading dan padang penggembalaan sering mengalami gangguan yang dilakukan oleh hewan perumput dan hewan herbivore lainnya. Tumbuhan yang tumbuh disini antara lain: rerumputan, herba, tanaman dikotil, dan beberapa jenis lumut.


2.         Komunitas tumbuhan berkayu (semak belukar dan hutan)
Komunitas tumbuhan berkayu dapat dikelompokkan dalam beberapa tipe yaitu
a.         Semak belukar Mesofitik
Komunitas vegetasi semak belukar mesofitik terdapat pada habitat yang kondisi lingkungannya tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman brerupa pohon yang akan membentuk vegetasi komunitas hutan. Kondisi tersebut sangat sesuai untuk habitat komunitas vegetasi herbal yang kadang- kadang membentuk vegetasi campuran antara tumbuha semak xerofitik dan mesofitik, seperti tumbuhan Salix sp,Arabis sp, Lathyrus sp, Vicea sp, dan sebagainya.



a.         Hutan Gugur daun (Deciduous florest)
Hutan Gugur daun bercurah tinggi sekitar 75-100 cm/ tahun dengan suhu udara sedang (moderat). Hutannya terdiri pohon yang menggugurkan daunnya ketika suhu kering dan panas seperti di daerah tropika. Pepohonan ini mengandung mikroflora dan akarnya mengandung mikorhizza. Tumbuhan epifit seperti lumut dan lumut kerak tumbuh melimpah di permukaan batang pohon. Sebagian besar tumbuhan di hutan gugur daun penyerbukannya dilakukan oleh angin. Hutan gugur daun diberinama berdasarkan pohon-pohon dominanyang membentuk asosiasi hutan Quercus spp, hutan Betula spp, hutan Fagus spp.
Pada daerah tropis bermusim kering dan musim jelas, pepohonannya akan bersifat tropofit yaitu tumbuhan mesofit selama musim hujan tumbuhan tropofit menjadi xerofit. Dedaunan akan mulai gugur pada permulaan musim hujan dan musim kemarau. Tumbuhan bersifat tropofit beradaptasi terhadap kekeringan dan musim hujan bersifat tunasnya berpelindung lebih baik, kulit pohon mempunyai lapisan pelindung (epidermis) tebal dan modifikasi batang yang tumbuh di dalam tanah akan bertunas pelindung terhadap kekeringan dan kedinginan. Contoh Tumbuhan Conifer, missal pohon Tusan (Pisum spp).



b.         Hutan yang selalu hijau (Evergreen Forest)
Hutan ini ditemukan di daerah tropis, subtropics, daerah beriklim sedang (temperate) di bumi bagian selatan. Pepohonan di hutan Evergreen biasanya daunnya selalu hijau selam setu tahun sampai daun baru muncul.



Terdapat 3 macam hutan  evergreen yaitu
1)        Hutan Antartika, tumbuh di New Zaeland dan daerah lainnya. Suhu udara tahunannya berkisar 5° C- 70°C dengan curah hujan banyak sepanjang  tahun. Pohon penyusun  hutan ini adalah pepohoana suku Coniferaceae, Myrtaceae, Hymenophyllaceae, tumbuhan lumut hati.


2)        Hutan subtropics
Hutan ini terdapat di daerah curah hujan cukup tinggi, tetapi tidak mempinyai perbadaan suhu yang besar antara musim dingin dan musim panas. Hujan pada umumnya jatuh pada musim panas, jarang terjadi pada musim dingin. Hutan subtropics terdapat antara lain di bagian timur Amerika Serikat, Brazilia bagian selatan, Afrika Selatan, Australia Selatan, Australia Timur, Cina bagian selatan dan Jepang. Pepohonan ini mencapai tinggi sekitar 30 m terdiri dari pohon asam (Tamarindus sp), magnolia (Magnolia aciminata), pohon Oak (Quercus spp) dan lumut-lumutan.


3)        Hutan-hutan tropika
Hutan ini terdapat di daerah tropis sekitar khatulistiwa dengan curah hujan 1800mm/ tahun, suhu udra rata-rata lebih dari 24 °C. hutan hujan tropika terdapat di bagian tengah dan selatan Amerika, Afrika Tengah, Kepulauan Pasifik, Brazilia, Indonesia, Malaysia, dan kawasan tropis lainnya.
Hutan ini merupakan hutan yang kepadatan pohonnya sangat tinggi dan jarang terganggu oleh komponen biotic lain dalam proses suksesinya sehingga dinamakan hutan pemula (primeral forest) yang menjadi vegetasi klimaks di seluuruh dunia. Hutan ini  berciri kelembaban tinggi sekitar 95%, suhu udara tinggi, hujan hampir tidak setiap hari, tidak terdapat musim kering yang berarti, tanahnya kaya akan humus, berwarna gelap, mempunyai porositas yang tinggi.
Vegetasi hutan hujan tropis bervegatasi subur kaya akan jenis dan tersusun dari tumbuhan suku Lauraceae, Leguminoceae, Moraceae, atau Myrtaceae. Vegatasi ini berlapisan stratifikasi pohon yang jelas terdiri pohon mencapai tinggi 40-50 m, disertai tumbuha bawah berupa semak, herba, lumut, Selaginella sp, dan sebagainya. Di akar pepohonanya sering tumbuh jamur/ mikhorhiza, saprofit, parasit  seperti Raflessia spp, Balanophora sp, Monotrapa sp, dan pada batangnya  sering terdapat tumbuhan epifit dan liana.


Selain terdapat kelompok adaptasi tumbuhan berdasarkan ketersediaan air dan lingkungannya (kelompok hidrofit, xerofit, mesofit) menyebutkan pula terdapat kelompok tumbuhan yang beradaptasi pada tumbuhan lain sebagai tempat tumbuh dan hidup disebut tumbuhan Epifit, dan kelompok tumbuhan yang telah beradaptasi terhadap lingkungan rawa payau (tumbuhan halofit) disebut tumbuhan Mangrove atau tumbuhan bakau (Kusuma dan Ismono, 1995).

D.      TUMBUHAN EPIFIT
Nama epifit berasal dari bahasa Latin, “epi”= di atas, “phyton”= tumbuhan, dan “epiphyton”= tumbuhan yang tumbuh di atas pohon. Secara harfiah, tumbuhan epifit adalah tumbuhan yang tumbuh di atas tumbuhan lain. Secara umum, epifit adalah tumbuhan ototrof yang tumbuh pada permukaan tumbuhan tempat bertumpu secara tetap dan tidak berakar di tanah. Epifit disebut pula “tumbuhan aerofit” (aerophyta) yaitu suatu tumbuhan yang hidup di udara. Contohnya antara lain anggrek (Vanda teres), simbar menjangan (Platycerium bifurcatum), pakis duwit (Drymoglosum pilaselloides), beberapa jenis alga, lumut (Tortura pagorum) atau lumut kerak, misalnya Palmeria sp.
Epifit menyerap air dari atmosfir dan menyerap unsur-unsur hara dan mineral dari kulit batang yang membususk dari pohon tempat bertumpu. Karena tumbuhan epifit bersifat ototrof, tumbuhan tersebut mensintesis karbohidrat dari air dan COsendiri dari atmosfir dengan bantuan sinar matahari yang membedakannya dengan tumbuhan parasit atau liana karena tumbuhan epifit tidak berakar di tanah.
Habitat dan sebaran epifit bermacam-macam, seperti di permukaan tumbuhan air yang terendam, permukaan batang dan percabangan pepohonan, dan permukaan daun, batu-batuan dan sebagainya. Vegetasi epifit terutama tumbuhan lumut, tumbuh melimpah di daerah yang lembab dan sejuk, tetapi sangat sedikit tumbuh di daerah yang kering dan beriklim dingin. Di daerah yang hangat dan basah, pada batang pohon yang berlumut sering didominasi oleh tumbuhan epifit dari suku Bromeliaceae dan Orchidaceae yang tumbuh melimpah. Di daerah hujan tropis, jenis-jenis epifit umumnya terdapat di batang atau cabang di puncak-puncak pohon xerofit, sedangkan di bagian bawah batang pohonnya tumbuh-tumbuhan “hygrofita” (“hygrophytes”), yaitu tumbuhan yang menyukai kelembaban yang tinggi dan naungan.
Tumbuhan epifit ternyata terdapat pada bermacam-macam habitat. Beberapa jenis tumbuhan epifit tumbuh di permukaan tumbuhan akuatik yang separuh tenggelam, sedangkan tumbuhan lainnya cenderung merupakan tumbuhan yang menempati batang pohon atau cabang, bahkan tumbuh di lamina daun (aerial). Selain itu tumbuhan epifit dapat pula tumbuh di batu bahkan di tiang dan kawat telepon. Tortura pogorum adalah tumbuhan epifit berupa lumut (moss) yang pada umumnya tumbuh di batang pohon di daerah perkotaan karena memerlukan lingkungan dengan suhu yang tinggi dan udara yang mengandung asap untuk pertumbuhannya yang normal.

1.    Adaptasi Struktural
Karena tumbuhan epifit kebutuhan airnya tergantung dari hujan, embun dan uapi air di udara maka tumbuhan epifit dapat beradaptasi secara struktural untuk dapat menyimpan air dan mengurangi kehilangan atau kekurangan air. Adaptasi struktural yang terpenting adalah sebagai berikut:
a.       Adaptasi morfologi
1)      Akar
Pada tumbuhan epifit berpembuluh (vascular plants) sistem perakarannya tumbuh berkembang dengan baik dan luas, dan terdapat 3 jenis sistem perakaran, yaitu :
a)      Akar penyerap (absorbsi), akar yang berfungsi menyerap air, mineral dan bahan organis sebagai nutrien dari celah-celah kulit batang pohon yang lembab dan telah membusuk yang menjadi tempat tumbuhan epifit tumbuh,
b)      Akar pelekat (clinging roots), akar yang berperan agar tumbuhan epifit tetap melekat di permukaan batang pohon tempat tumbuh dan menyerap nutrien dari humus dan debu yang terakumulasi di permukaan kulit batang tumbuhan inang,
c)      Akar udara (aerial roots), akar yang posisinya menggantung di udara untuk menyerap air dari atmosfir dan berwarna hijau (mengandung klorofil) sehingga dapat melakukan fotosintesis.


2)      Batang
Batang tumbuhan epifit berpembuluh maupun tidak (non-vascular plants), berkembang dengan baik atau tidak. Beberapa jenis tumbuhan epifit kadang-kadang pada batangnya membentuk batang “succulent” untuk menyimpan air yang bentuknya, seperti umbi (tuber) atau gelembung, seperti bola palsu (pseudobulbous).
3)      Daun
Daun tumbuhan epifit pada umumnya mempunyai helai daun yang terbatas, beberapa jenis anggrek bahkan hanya mempunyai satu helai daun pada musim pertumbuhan. Kadang-kadang daunnya berdaging dan mempunyai lapisan epidermis pada kulit. Pada tumbuhan Dischidia nummularia, Platycerium bifurcatum, Asplenium nidus, daunnya berubah atau mengalami modifikasi menjadi seperti kendi (“pitcher”).
4)      Buah, biji dan penyebarannya
Buah dan biji tumbuhan epifit pada umumnya disebarkan oleh angin, insekta dan burung. Jika biji jatuh pada permukaan batang pohon atau tempat lainnya dan lingkungan yang sesuai maka bijinya akan berkecambah dan tumbuh menjadi tumbuhan baru.
b.    Adaptasi anatomi
Tumbuhan epifit memiliki ciri-ciri struktur anatomi organ-organ tumbuhan seperti berikut :
1)      Lapisan kutikula pada daunnya tebal dan stomata berbentuk cekungan yang terbenam (kriptofor) berada di bawah permukaan epidermisnya dan berguna untuk mengurangi transpirasi dan kehilangan air, sedangkan pada sel organ yang berperan untuk menyerap air seperti akar dan daun, epidermisnya tidak berkutikula.
2)      Pada tunmbuhan epifit yang berbatang “succulent” mempunyai jaringan yang berkembang dengan baik sebagai tempat penyimpanan cadangan air.
3)      Pada akar udara (aerial roots) beberapa tumbuhan epifit di daerah tropis seperti pada suku Araceae dan Orchidaceae, akan terbentuk jaringan parenkima yang disebut jaringan “velamen”, yaitu suatu jaringan yang bersifat higroskopis yang berperan untuk menyerap air dari atmosfir. Velamen mempunyai “eksodermis” yang terdiri dari sel-sel yang dindingnya tebal berlignin dan permeabel terhadap air. Velamen menyerap dan menahan uap air yang diserap melalui sel pelalu (passage cell) pada eksodermis (Hidayat, 1995).
4)      Struktur anatomi organ lainnya serupa dengan struktur anatomi tumbuhan mesofit.
2.    Macam-macam Tumbuhan Epifit
Shimper (dalam Shukla dan Chandel, 1996), telah membagi tumbuhan epifit menjadi 4 tipe, yaitu:
a.       Protoepifit
Tumbuhan epifit ini mendapatkan nutrien sebagai sumber makanannya dari permukaan tempat tumbuhnya (batang pohon, daun atau batu) dan atmosfir. Tumbuhan epifit ini tidak membentuk struktur organ adaptasi khusus, kecuali akar udara dan velamen. Misalnya Peperonis sp, Dischidia nummularia, dan beberapa tumbuhan paku-pakuan epifit.
b.      Hemiepifit
Tumbuhan epifit pada mulanya tumbuh di permukaan batang pohon atau tempat lainnya, tetapi kemudian berhubungan dengan tanah melalui akar udara, misalnya Scindapus officinalis. Selain itu dapat pula terdiri dari tumbuhan yang batangnya memanjat dan melekat di tumbuhan yang ditumpanginya kemudian putus hubungan dengan tanah karena batang bagian bawahnya yang terdapat di tanah secara berangsur-angsur mati, dan sisa ujung batangnyatumbuh sebagai tumbuhan epifit. Tumbuhan macam ini dinamakan tumbuhan “pseudoepifite”.
c.       Epifit Sarang
Tumbuhan epifit ini mempunyai organ tubuh yang berkemampuan untuk memperoleh air dan humus dalam jumlah yang cukup untuk kehidupannya melalui sistem perakarannya yang bentuknya seperti sarang. Contohnya adalah anggrek kalajengking (Arachnis mangayi), anggrek merpati (Dendrobium crumenatum), atau anggrek bulan (Phalaenopsis anabilis).
d.      Epifit Kantung Air
Tumbuhan epifit ini mempunyai akar yang bentuknya seperti jangkar dan terdiri dari jalinan serabut fibrosa yang berkembang dengan baik yang berfungsi sebagai kantung untuk penyerapan dan tempat penyimpanan air. Selain itu daunnya juga dapat menyerap air dan melakukan proses fotosintesis. Contohnya adalah Nidularium sp, Tillandria sp, dan beberapa jenis tumbuhan epifit yang termasuk dalam suku Bromeliaceae (Suswanto Rasidi. 2004: 6.24-6.27)



E.   TUMBUHAN HALOFITA DAN VEGETASI MANGROVE
1.      Tumbuhan Halofita
Berbagai jenis tumbuhan tertentu dapat tumbuh dan hidup di habitat yang mengandung kadar garam yang tinggi. Tumbuhan yang hidupnya demikian dinamakan tumbuhan halofita (halophytes). Misra (1980) menyebutkan tumbuhan halofit sebagai tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di habitat tanah atau air yang kaya akan senyawa garam (antara lain NaCl). Beberapa jenis tumbuhan seperti Bit (Beta vulgaris) atau Alfalfa (Alfalfa lucerne) yang bukan merupakan tumbuhan halofit, tetapi tumbuh di tanah yang bergaram dan disebut dengan tumbuhan “halofit fakultatif”


             
Dalam lingkungan tanah atau perairan dengan kadar garam yang tinggi, sebenarnya tumbuhan halofit kadang-kadang tumbuh di lingkungan yang kadar airnya cukup (jernih), tetapi sebenarnya cukup tersedia air yang diperlukan. Hal ini karena tingginya kadar garam di dalam tanah atau perairan tersebut sehingga air tidak dapat diserap oleh tumbuhan yang tumbuhan di habitat tersebut. Untuk itu tumbuhan halofit harus mempunyai toleransi atau beradaptasi pada lingkungan yang secara fisik basah, tetapi secara fisiologis kering. Toleransi atau adaptasi yang dilakukan tumbuhan halofitnpada umumnya dengan mengakumulasi garam dan mensekresikannya kembali atau menyimpannya dalam organ khusus di dalam daun yang disebut “kelenjar garam” (salt gland) dan membatasi perkecambahan, pertumbuhan atau reproduksi pada musim-musim tertentu.
Jenis-jenis tumbuhan yang tumbuh pada relung ekologi yang habitatnya berkadar garam cukup tinggi (walaupun jauh dari laut) yang mengandung NaCl, CaSO4, atau KCl dan akan berkurang pada musim hujan disebut tumbuhan “pseudo halofit” (halofit semu). Jenis-jenis tumbuhan tersebut antara lain adalah  Chaenopodium album, Sueda fructicosa atau Tamarix articulata. Tumbuh-tumbuhan ini sering membentuk komunitas yang vegetasinya melimpah dan membentuk formasi “mikro edafik”.
Tamarix articulate
(Sumber : http/google/imagesearch/29/05/2012)


Stocker pada tahun 1933 (dalam Shukla dan Chandel, 1996) adalah peneliti yang pertama kali mengelompokkan habitat yang mengandung garam (saline habitat) dengan tumbuhan yang telah beradaptasi pada habitat tersebut. Habitat tersebut adalah :
a.       Habitat Akuatik-halin, misalnya Avicennia spp atau Rhizophora spp

b.      Habitat Teresto-halin, terdiri dari Habitat Higrohalin dan Habitat Mesohalin dan habitat Xerohalin, misalnya Spartina sp dan Sueda maritime
c.       Habitat Aero-halin, terdiri dari habitat yang terkena siraman atau percikan garam dari lingkungan laut dan habitat yang terkena debu garam dari lingkungan padang garam., misalnya Aegicera corniculatum atau  Sechium edule. Selain itu tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dan hidup pada habitat yang tanah atau perairannya berkadar garam (NaCl) antara 0,01-0,1% disebut “tumbuhan oligofit”, antara 0,1-1% disebut “tumbuhan mesohalofit”, dan >1% disebut “tumbuhan euhalofit”

                  Garam-garam terlarut pada umuumnya akan berpengaruh terhadap tumbuhan halofit pada tekanan osmotik dan berbagai reaksi kimi di dalam sel. Ciri-ciri toleransi dan adaptasi yang penting yang menandai tumbuhan halofit adalah sebagai berikut :
1.      Tumbuhan yang tumbuh di tanah yang mengandung garam pada umumnya berkecambah, tumbuh dan berkembang di musim hujan ketika kadar garam mengalami pengenceran dan berada di bawah zona perakaran.
2.      Pada kebanyakan tumbuhan, perkecambahan dan pertumbuhan biji akan terhambat dan tidak dapat tumbuh pada lingkungan berkadar garam, sedangkan pada tumbuhan tertentu pertumbuhan kecambah dan biji dapat berlangsung secara “vivipari”, misalnya pada tumbuhan bakau  (Rhizophora spp) yang mempunyai hipokotil yang telah masak dan berkecambah di atas pohon
3.      Tumbuhan halofit pada umumnya mempunyai sistem perakaran yang dangkal, akarnya yang ada di permukaan akan berguna untuk menyerap nutrien dan membantu aerasi karena akarnya terendam air hujan atau air laut.
4.      Kebanyakan tumbuhan halofit merupakan tumbuhan berdaging tebal, mengandung air dan bersifat “succulent” karena pengaruh garam-garam yang terlarut dalam tanah, khususnya ion-ion khlorida yang menstimulasi ciri-ciri tersebut.


2.      Tumbuhan Mangrove
Tumbuhan halofit yang termasuk dalam kelompok tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) yang kebanyakan tumbuh dan hidup di rawa-rawa pantai. Dapat dibagi menjadi 2 buah kelompok, yaitu :
a.       Tumbuhan halofit yang tumbuh terendam air laut (hidrohalofit) yang terdiri dari tumbuhan mangrove
b.      Tumbuhan payau di tepi pantai (higrohalofit) yang terdiri dari tumbuhan rawa pantai (salt marsh) dan tumbuhan yang berada di dataran tinggi di tepi laut (aerohalofit)
Salah satu vegatasi halofit yang penting yang tumbuh di perairan rawa payau di tepi pantai yang membentuk suatu komunitas vegetasi yang khas dan dipengaruhi oleh pasang surut adalah vegetasi mangrove. Vegetasi mangrove pada umumnya terdiri dari komunitas vegetasi halofit yang terbentuk dari berbagai formasi tumbuhan berupa pepohonan dan semak. Tumbuhan mangrove pada umumnya tumbuh lebat di kawasan pantai yang berlumpur, delta muara sungai besar, laguna dan teluk yang terlindung (estuaria) atau di pulau-pulau karang yang pantainya berpasir (Sukardjo, 1984)
Komunitas vegetasi hutan yang terdapat dan tumbuh di habitat payau disebut “vloedbosh” atau hutan pasang surut atau lebih sering dinamakan hutan mangrove, sering padanannya dinamakan juga hutan bakau (Kartawinata, dkk, 1978). Berdasarkan kondisi ekologi lingkungannya, tumbuh-tumbuhan yang terdapat di hutan bakau atau hutan mangrove mempunyai kebutuhan ekologi yang disukai atau ekologi preferensi (ecological preference) tertentu. Menurut Steenis (1958), Misra (1980) dan Sukhla dan Chandel (1996), ekologi preferensi tumbuhan mangrove adalah sebagai berikut :
1.      Perairan yang dangkal berlumpur tebal
2.      Habitat berlumpur atau berpasir yang selalu terendam air payau yang kaya akan materi organic
3.      Terdapat di kawasan tropis atau subtropis yang mempunyai kelembaban dan curah hujan yang cukup tinggi
4.      Tumbuhannya mempunyai ketahanan terhadap salinitas, frekuensi genangan dan kedalaman tertentu, serta tahan terhadap arus dan ombak
5.      Kondisi perkecambahan dan pertumbuhannya sangat berkaitan dengan faktor-fktor tersebut di atas
Ciri-ciri adaptasi yang terpenting dari tumbuhan bakau, antara lain :
1.      Daunnya mempunyai sel epidermis, kutikula yang tebal dan jaringan palisade yang berkembang dengan baik. Daunnya mempunyai kapaitas untuk menyimpan air.
2.      Mempunyai sistem jaringan akar berupa akar napas atau pneumatofora (Avicennia spp), akar tunjang (Rhizophora spp), dan akar lutut (Bruguera spp)


3.      Mempunyai akar pneumatofora geotropik negatif yang berfungsi untuk bernapas
4.      Perkecambahan biji berlangsung di dalam buah dan membentuk hipokotil yang bentuknya memanjang (vivipari) sehingga jika jatuh dapat menancap di lumpur, misalnya pada Rhizophora spp
Watson (dalam Sukardjo, 1984), mengelompkokan vegetasi mangrove menjadi 2 kelompok, yaitu :
1.      Kelompok utama yang terdiri dari suku Rhizophoraceae dan marga Sonneratia, Avicennia dan Xylocarpus
2.      Kelompok tambahan yang terdiri dari tumbuhan Excoecaria agallocha, Acrostichum aureum, Acanthus ilicifolius, dan sebagainya
Di hutan mangrove, terdiri dari tumbuhan mangrove berupa pohon, komunitas vegetasinya sering bercampur dengan tumbuhan bukan mangrove (kelompok tambahan) berupa pohon, perdu atau semak yang tumbuh di lantai hutan atau di hutan bakau yang terbuka. Jenis-jenis tumbuhan tersebut antara lain  Nypa fructicans, Pandanus spp, Phragmites karka, Glochidion littorale, Acrostichum aureum (paku laut), Acanthus ilicifolius (jeruju), dan sebagainya.
Komunitas mangrove di Indonesia tercatat 35 jenis tumbuhan berupa pohon, 9 jenis terna, 5 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis tumbuhan parasit. Selain itu, jenis-jenis tumbuhan umum yang terdapat di hutan mangrove dari laut ke darat, antara lain adalah Avicennia spp, Sonneratia caseolaris, Rhizophora spp, Xylocarpus granatum, Lumnitzera spp,Bruguiera spp,Excoecaria agallocha, Baringtonia spp, Pandanus tectorius, Acanthus spp, Acrostichum aureum, dan beberapa jenis paku-pakuan dan anggrek (Sukardjo, 1984).